Biarkan Saja Aku Bermimpi

“Orang yang sukses adalah orang yang memiliki mimpi dan keyakinan bahwa mimpi itu akan dapat terjadi berapapun harga yang harus ia bayar” (Bill Gates)
           
            Impian, saat ini merupakan satu kata yang mulai sering dibicarakan oleh kebanyakan orang. Buku-buku, majalah, dan berbagai media pun sudah banyak yang membahas kekuatan dari kata tersebut, hingga kini tak sedikit orang yang sadar betapa pentingnya makna dari 6 huruf itu. Berbeda dengan lima belas tahun silam, mungkin tak banyak orang yang memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkan hal yang disebut dengan ‘impian’ itu, hingga tak jarang kalimat semacam, “Jangan berpikir terlalu tinggi nanti kalau gak kesampean bakalan sakit banget loh!”, seringkali terlontar dari rekan-rekan, sahabat, bahkan keluarga, saat kita menceritakan sesuatu hal yang ingin diwujudkan atau capai.
            Sayangnya, saya masih heran. Kenapa hal demikian masih banyak terjadi saat ini? Keraguan terhadap urgensi makna impian bagi seseorang yang justru hadir tidak hanya dari orang-orang di ruang eksternal seorang individu, akan tetapi juga pada internal individu itu sendiri. Masih banyak orang yang takut mengemukakan impiannya, bahkan sangat takut memiliki impian yang setinggi-tingginya. Padahal sampai hari ini, memiliki impian yang besar masih gratis alias tak ada biaya. Kekhawatiran tidak dapat tercapai, takut gagal, atau apalah itu kenapa justru lebih mendominasi dari impian itu sendiri? Apa yang salah?
            Bagi diri saya pribadi, impian tak ubahnya seperti sebuah rencana yang kita siapkan bagi diri bahkan orang-orang yang ada di sekitar kita. Ia mulai dari hati dan pikiran yang menggerakkan gejolak diri dan berlanjut mempengaruhi seluruh sistem tubuh untuk mewujudkannya. Rencana yang bermula dari sebuah keinginan dan bukanlah tidak mungkin, hal ini dapat berubah menjadi sebuah kebutuhan.
            Saya pun memiliki banyak pengalaman dari indahnya memiliki impian. Sejak kecil, saya merasa bahwa separuh hidup saya dipengaruhi oleh impian saya. Ketika saya berimpian mencapai sesuatu, saya akan menanamkan hal itu kuat-kuat di dalam benak saya. Walaupun orang-orang di sekeliling saya beranggapan hal itu mustahil. Bilang saja pada diri kita, “Cukup, ini hidup saya dan hanya diri saya yang akan bertanggung jawab atas segala pilihan yang saya tentukan!”. Bukan bermaksud untuk egois, namun untuk apa menyerah ketika hal itu belum terbukti kebenarannya. Untuk apa berhenti ketika kita belum melakukan apapun dan stagnan pada paradigma orang lain itu. Berusaha sekuat tenaga dan belajar banyak hal untuk memperluas pemahaman justru yang seharusnya lebih diperbanyak, bukan hanya sekedar mendengarkannya kata-kata itu lalu berhenti. Anggap saja semua kata semacam itu sebagai sebuah bentuk perhatian dan peringatan bagi kita untuk lebih mawas diri.
            Saat ini, di buku impian saya ada sekitar >100 impian yang saya tuliskan di sana. Buku tersebut terkadang juga menjadi alat bagi saya untuk mengevaluasi diri tentang apa saja yang telah saya usahakan bagi hidup saya. Menjadi motivator bagi saya ketika hilang kendali, serta menjadi penjelas bagi pandangan hidup saya untuk menentukan arah yang harus dituju dengan cara yang baik. Alhamdulillah, hingga hari ini satu-persatu beberapa di antaranya mulai terwujud.
            Gagal? Bukanlah sesuatu yang harus mendominasi. Jadikan hal tersebut sebagai media untuk mengantisipasi permasalahan akan resiko dengan belajar dari pengalaman orang-orang sebelum kita misalnya, atau mungkin dari pengalaman kita sendiri. Setiap orang di dunia ini pasti pernah mengalaminya, jadi kenapa kita harus takut menghadapinya? Jangan jadikan itu sebagai penghambat. Setidaknya ketika kita gagal meraih sebuah impian, ada manifestasi pembelajaran yang bisa kita dapatkan dan bukannya tidak mungkin hal itu menjadi inspirasi bagi orang lain. Lalu, apakah kita masih mau menganggap diri kita sebagai orang ‘gagal’ atas sebuah keberhasilan yang tertunda?
            Sedikit berbagi, dahulu saya pun memiliki sebuah impian ingin menjadi seorang dokter. Cita-cita yang tumbuh sejak saya berusia tiga tahun yang bermula dari keinginan untuk bisa menyembuhkan penyakit orang-orang, terutama orang-orang tua di desa ibu saya, Desa Ngembong-Wonogiri. Waktu itu saya tinggal dengan nenek, dan beliau seringkali mengajak saya untuk melihat lingkungan sekitar di desa kecil kami yang masih sangat minim dengan pembangunan. Mengembangkan empati itulah tujuannya. Cita-cita itu terus berkembang semakin kuat dan dalam di benak saya hingga saya dewasa. Dan tahukah kamu? Akhirnya cita-cita itu usai di saat saya duduk di kelas 1 SMA. Padangan saya berubah untuk mengambil ranah lain, namun tetap dalam misi melakukan perubahan dan menolong sesama. Salah seorang guru sejarah saya, punya peranan besar dalam perubahan pandangan saya itu. Lalu, apakah saya gagal bertanggung jawab pada impian saya itu? Saya rasa tidak seratus persen benar, sebab akhirnya saya pun memperoleh kesempatan untuk bisa masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melaui jalur PPKB (Program Pemerataan Kesempatan Belajar), dahulu disebut dengan PMDK, atau salah satu jalur tanpa tes. Bahkan satu impian besar saya ketika saya duduk di kelas 3 SD untuk  bisa berkuliah di Sorbonne-Perancis, selepas SMA (akibat efek kegemaran saya membaca buku-buku biografi penemu dunia dan Marie Curie merupakan salah satu penemu yang sangat saya gandrungi saat itu berkuliah di sana), tidak juga kesampaian. Kedengaran terlalu muluk-muluk memang, bahkan bisa dibilang ‘belagu’. Masa’ sih sampe segitunya anak kecil punya impian waktu itu? Ya, itu yang terjadi pada saya dan saya sangat bersyukur serta bangga dapat memiliki impian besar itu di usia tersebut. Setidaknya ketika impian kita belum tercapai pada dasarnya ada rencana lain yang lebih baik disiapkan olehNya bagi kita.
            Lagi-lagi, saya ingin meyakinkan bahwa impian tak ubahnya seperti sebuah rencana. Ketika kita gagal mencapai A, maka kita dapat melakukan B dengan kepuasan yang sebenarnya tidak jauh berbeda. “Change should be a friend. It should happen by plan, not by accident  (Philip Crosby, Reflections on Quality) atau “Success comes to those who plan their work and then work their plan! (Andre Agassi)”.
            Kegagalan hanyalah sebuah fase pembelajarn bagi kita. Pembelajaran tentang manajemen cara mewujudkan impian itu sendiri, serta menimbulkan efek rasa syukur yang lebih dahsyat ketimbang jika setiap apa yang kita impikan selalu berhasil tanpa cela. Bagian inilah yang seharusnya kita tegaskan tekait kata ‘gagal’. Pentingnya impian yang juga merupakan rencana dapat kita pelajari dari firman Allah SWT yang ia tujukan bagi para sahabat ketika akan berangkat menghadapi peperangan:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” QS:Al Anfaal:60)
            Sejarah membuktikan, bahwa orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang bisa membangun impian mereka. Bill Gates, Hinorobu Sakaguchi, Thomas A. Edison, bahkan Rasulullah SAW berhasil melakukan perubahan karena bermula dari impian-impian mereka yang besar. Jadi, pertanyaannya adalah masihkah takut untuk bermimpi? Masihkah khawatir untuk gagal? Dan masihkah ragu dengan kiprah orang-orang besar itu? Satu hal yang perlu diingat adalah impian merupakan bagian dari pikiran dan prasangka kita, dan Sang Maha Kuasa senantiasa bertindak atas apa yang ada dalam prasangka setiap makhlukNya, maka hal apakah yang akan terus mendominasi isi pikiran dan prasangka kita itu? Hanya kita yang bisa menjawabnya.